Minggu, 27 Juni 2010

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan kita, baik dalam kehidupan individu, bangsa maupun negara. Oleh karena itu pendidikan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, sehingga sesuai dengan tujuan. Keberhasilan suatu bangsa terletak pada mutu pendidikan yang dapat meningkatkan kualtias sumber daya manusianya.
Pendidikan pada dasarnya suatu proses untuk membantu manusia dalam mengembangkan dirinya, sehingga mampu menghadapi segala perubahan dan permasalahan dengan sikap terbuka serta pendekatan-pendekatan yang kreatif tanpa harus kehilangan identitas dirinya. Sekolah merupakan bagian dari sistem pendidikan formal yang mempunyai aturan-aturan jelas atau lebih dikenal dengan GBPP (Garis-garis Besar Program Pengajaran) sebagai acuan proses pembelajaran dan guru sebagai fasilisator yang berperan dalam keberhasilan seorang siswa, sehingga guru harus tepat dalam memilih metode pembelajaran yang akan digunakan.
Ekonomi merupakan salah satu cabang ilmu IPS yang berperan sangat esensial dalam perkembangan sains dan teknologi. Oleh karena itu, siswa dituntut untuk menguasai materi pelajaran ekonomi secara tuntas. Hal ini sejalan dengan tujuan pembelajaran ekonomi yang tercantum dalam kurikulum 2004, yaitu :
“agar siswa memahami atau menguasai penerapan konsep-konsep ekonomi dan saling keterkaitannya serta mampu menerapkan berbagai konsep ekonomi untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi secara ilmiah”. (Depdiknas, 2004)
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pengajaran ekonomi harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sehingga memperoleh hasil yang diharapkan.
Keberhasilan pengajaran ekonomi ini ditentukan oleh besarnya partisipasi siswa dalam mengikuti pembelajaran, makin aktif siswa mengambil bagian dalam kegiatan pembelajaran, maka makin berhasil kegiatan pembelajaran tersebut. Tanpa aktivitas belajar tidak akan memberikan hasil yang baik.
Pada kenyataannya, guru dalam melakukan kegiatan belajar mengajar di kelas cenderung berlangsung secara konvensional atau menggunakan strategi pembelajaran tradisional. Artinya guru mentransformasi ilmu pengetahuannya dengan menggunakan metode ceramah sehingga pembelajaran berpusat pada guru (Teacher Centered). Padahal menurut Kurikulum 2004, kegiatan belajar mengajar harus berpusat pada siswa yang artinya siswa harus lebih aktif menggali informasi sendiri. Selain itu, kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa pencapaian jumlah siswa yang tuntas belajar di SMA Markus X ternyata masih rendah. Dikatakan rendah karena belum mencapai ketuntasan belajar menurut kurikulum SMU 1994 yaitu memperoleh nilai > 65.
Dalam mempelajari konsep ekonomi, siswa kurang bisa mengaitkan konsep yang ada ke dalam kehidupan sehari-hari apalagi ekonomi merupakan ilmu baru yang dipelajari oleh siswa sehingga siswa akan mengalami kesulitan bila siswa dihadapkan kepada bahan pengajaran baru yang menghendaki penalaran intelektual sedangkan ilmu ekonomi sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari dan akan lebih mudah dipahami siswa berdasarkan pengalaman yang mereka temui di lingkungan sendiri.
Untuk mengatasi masalah tersebut di atas, perlu diupayakan suatu pendekatan pembelajaran yang dapat digunakan untuk membuat pembelajaran lebih aktif. Salah satunya adalah dengan menerapkan pendekatan Contextual Teaching dan Leraning (CTL) yang merupakan konsep belajar untuk membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan kehidupan sehari-hari siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan awal siswa dengan penerapan dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Blanhard, 2001). Dengan konsep itu hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Dalam upaya itu, siswa memerlukan guru sebagai pengarah dan pembimbing.
Pendekatan kontekstual hanya sebuah strategi pembelajaran seperti halnya strategi pembelajaran yang lain, kontekstual dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran lebih aktif. Pendekatan kontekstual dapat dijalankan tanpa harus mengubah kurikulum dan tatanan yang ada.
Dalam kelas yang diajarkan dengan pendekatan CTL, tugas guru adalah membantu siswa dalam mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberikan informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja sama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa) dengan membentuk kelompok. Kebiasaan di kelas, kelompok dibuat sendiri oleh siswa sehingga kelompok yang terbentuk bersifat homogen dan kelas didominasi oleh kelompok yang aktif. Dari kenyataan tersebut, digunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD karena model kooperatif tipe STAD merupakan model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana sehingga siswa dapat lebih mudah dalam memahami dan melakukan belajar dalam kelompok. Pembentukan kelompok kooperatif yang heterogen dilakukan dengan cara melihat hasil belajar siswa terdahulu.
Pembelajaran kooperatif tipe STAD diterapkan untuk mengelompokkan kemampuan yang berbeda sehingga memungkinkan terjadinya interaksi antara guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa secara aktif sehingga diharapkan siswa yang pandai akan membantu siswa yang kurang pandai karena dalam STAD siswa haru mempunyai tanggung jawab secara individu dan secara kelompok sehingga akan memperbaiki kualitas pembelajaran dan meningkatkan hasil belajarnya.

1.2. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimana kemampuan guru dalam mengolah KBM melalui penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD?
b. Bagaimana aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran kooperatif tipe STAD?
c. Bagaimana ketuntasan belajar siswa setelah menerapkan pembelajaran kooperatif tipe STAD?
1.3. Batasan Masalah
Salah astu model pembelajaran dalam proses belajar mengajar adalah pembelajaran kooperatif tipe STAD. Banyak teknik yang digunakan dalam pembelajaran ini. Namun keterbatasan kemampuan, waktu dan dana maka penulis membuat batasan masalah sebagai berikut :
a. Peneliti hanya membahas tentang ketuntasan belajar siswa dan pengelolaan guru dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
b. Sasaran penelitian adalah siswa kelas X SMA Markus.




1.4. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
a. Kemampuan guru dalam mengolah KBM melalui penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD.
b. Aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran kooperatif tipe STAD.
c. Ketuntasan belajar siswa setelah menerapkan pembelajaran kooperatif tipe STAD.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :
a. Bagi siswa, dapat memupuk budaya membaca, berdiskusi/bekerja kelompok dan menggali informasi sendiri sehingga dapat belajar mandiri.
b. Bagi guru, dapat dijadikan sebagai contoh model pembelajaran ekonomi yang berorientasi pada model pembelajaran tipe STAD untuk membantu siswa dalam memahami konsep-konsep ekonomi.
c. Dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, khususnya dapat meningkatkan nilai akademis siswa















BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Keefektifan belajar terjadi bila siswa secara aktif dilibatkan dalam mengorganisasikan dan menemukan hubungan informasi. Kegiatan belajar yang efektif tidak hanya meningkatkan pemahaman dan daya serap siswa pada materi pembelajaran, tetapi juga melibatkan ketrampilan berpikir.
Menurut Slavin (dalam Agus S. 2004:24) keefektifan pembelajaran ditentukan empat aspek sebagai berikut :
1. Kualitas pembelajaran yaitu seberapa besar informasi atau ketrampilan yang disajikan sehingga siswa dapat dengan mudah mempelajarinya, kualitas pembelajaran sebagian besar merupakan hasil dari kemampuan guru dan mengelola kelas.
2. Kesesuaian tingkat pembelajaran yaitu sejauhmana guru memastikan tingkat kemajuan siswa untuk mempelajari informasi baru.
3. Intensif yaitu seberapa besar usaha guru memotivasi siswa untuk mengerjakan tugas-tugas belajar dan mempelajari materi yang disajikan.
4. Waktu yaitu banyaknya waktu yang diberikan kepada siswa untuk mempelajari materi yang disajikan.

Dari uraian tersebut, pembelajaran yang efektif menghendaki guru agar melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran sehingga siswa mampu menemukan hubungan antara informasi baru dengan informasi awal dan akhirnya mampu memahami informasi yang diberikan guru.
Untuk mengetahui efektivitas pembelajaran maka pemahaman ini dapat ditinjau dari beberapa aspek, antara lain :
1. Aspek ketrampilan mengelola pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dikatakan efektif bila ketrampilan guru telah mencapai kriteria baik dan sangat baik.
2. Aspek aktivitas guru dikatakan efektif jika pencapaian waktu ideal yang telah ditetapkan dalam penyusunan silabus sesuai dengan pendekatan kontekstual dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD.
3. Aspek ketuntasan hasil belajar dikatakan tuntas jika memperoleh nilai > 65%. Sedangkan ketuntasan belajar secara klasikal dicapai jika terdapat > 85% siswa telah tuntas belajar pada kelas tersebut.

1. Pengertian Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengkaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. CTL juga merupakan suatu reaksi terhadap teori yang pada dasarnya behavioristik yang telah mendominasi pendidikan selama puluhan tahun (Nur; 2002). Pendekatan CTL mengakui bahwa pembelajaran merupakan suatu proses kompleks dan banyak fase berlangsung jauh melampaui drill oriented dan metodologi stimulus dan response yang dikembangkan oleh pembelajaran berorientasi pada psikologi behaviorisme. Berdasarkan teori tersebut belajar terjadi hanya jika siswa memproses informasi atau pengetahuan baru sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berfikir yang dimilikinya (Nur; 2001).
Sedangkan menurut Cord yang dikutip Nur (2001) menyatakan bahwa pendekatan kontekstual terjadi apabila siswa memproses informasi dan pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga informasi tersebut bermakna bagi mereka dalam kerangka acuan mereka sendiri.
Pola pendekatan kontekstual berbeda dengan pendekatan konvensional yang kita kenal selama ini. Beberapa perbedaan tersebut dapat kita gambarkan dalam table berikut ini :
Tabel 2.1 : Perbedaan pola pendekatan konvensional dan kontekstual.

Konvensional Kontekstual
• Berdasarkan pada hafalan • Berdasarkan pada ruang
• Khas memfokuskan pada suatu mata pelajaran • Khas mengintegrasikan banyak mata pelajaran
• Nilai informasi ditentukan oleh guru • Nilai informasi didasarkan pada kebutuhan individual
• Menjejali siswa dengan setumpuk informasi • Menghubungkan informasi dengan pengetahuan awal
• Asesment pembelajaran hanya untuk kepentingan akademik formal, seperti ujian • Asesment autentik melalui penerapan atau pemecahan masalah realistic
Sumber : Nur, 2002.
Menurut teori CTL pembelajaran terjadi hanya apabila siswa memproses informasi dan pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga informasi itu bermakna bagi mereka dalam kerangka acuan mereka sendiri (Nur; 2001). Pendekatan kontekstual mengasumsikan bahwa otak secara alami mencari makna dalam konteks yaitu dalam hubungan dengan lingkungan mutakhir tersebut dan bahwa otak melakukan pencarian itu dengan mencari hubungan yang bermakna dan tampak berguna. Orang dapat belajar secara baik dalam konteks, dalam suatu yang terkait dengan kebutuhannya. Belajar terbaik dapat dikatakan dengan mengerjakan pekerjaan itu sendiri dalam proses penyelaman kembali (refleksi).
Secara lebih rinci Nur (2001) menguraikan tujuh prinsip dalam pendekatan konteksutal :
Penemuan (Inquiry)
a. Kegiatan pembelajaran diawali dengan pengamatan dalam rangka untuk memahami suatu konsep. Dalam praktek pembelajaran melewati siklus mengamati, bertanya, menyelidiki, menganalisa dan merumuskan teori baik secara individu maupun bersama-sama dengan teman lainnya. Penemuan juga merupakan aktivitas untuk mengembangkan dan sekaligus menggunakan ketrampilan berfikir secara kritis.
b. Pertanyaan (Questioning)
Seperti telah dikemukakan di atas, pertanyaan merupakan alat pembelajaran bagi guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berfikir siswa. Pertanyaan digunakan oleh siswa selama melaksanakan kegiatan yang berbasis penemuan.
c. Konstruktivisme (Constructivism)
Siswa membangun pemahaman oleh diri sendiri dari pengalaman-pengalaman baru berdasarkan pengalaman awal. Pengalaman awal selalu merupakan dasar dan tumpuan yang digabung dengan pengalaman baru untuk mendapatkan pemahaman baru. Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman yang bermakna.
d. Kelompok Belajar (Learning Community)
Proses pembelajaran terjadi dalam situasi sesama siswa, saling berbicara dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran aktif bagi siswa akan lebih baik jika dibandingkan dengan belajar sendiri. Hal ini berbeda dengan pembelajaran tradisional yang secara tidak langsung mendidik siswanya untu menjadi individu yang egoistis, tidak banyak peduli dengan lingkungannya. Lebih tragis lagi jika persaingan tersebut selesai.
e. Penilaian Autentik (Authentic Assesment)
Penilaian Autentik ini bersifat mengukur produk pembelajaran yang sering bervariasi yaitu pengetahuan dan keterampilan. Penilaian ini tidak hanya melihat produk akhir, tetapi juga prosesnya instruksi dan pertanyaan-pertanyaan dipilih yang relevan dengan prinsip-prinsip pendekatan kontektual.
f. Refleksi (Reflection)
Salah satu pembeda pendekatan kontekstual dengan pendekatan konvensional yang berbentuk cara-cara berfikir tentang sesuatu yang telah dipelajari siswa. Dalam proses berfikir itu, siswa dapat merevisi dan merespon kejadian, aktivitas dan pengalaman mereka. Prosedur umumnya, siswa mencatat butir-butir materi yang telah dipelajarinya, siswa dilatih untuk mengenali ide-ide baru yang muncul. Bentuk refleksi yang digunakan dalam penelitian berupa diskusi.
g. Pemodelan (Modelling)
Aktivitas guru di kelas memiliki efek modal bagi siswa. Jika guru mengajar dengan berbagai variasi metode dan teknik pembelajaran, maka secara tidak langsung siswapun akan meniru metode atau teknik yang dilakukan guru. Guru dapat melakukan aktivitas mengucapkan hal-hal yang difikirkan. Guru juga dapat melakukan sesuatu yang diinginkan agar siswa melakukannya.
Dalam pendekatan kontekstual siswa ditempatkan dalam suatu konteks yang bermakna dimana siswa membuat suatu hubungan antara pengetahuan lama dengan pengetahuan yang dipelajari. Salah satu model pembelajaran yang berasosiasi dengan CTL antara lain adalah : belajar berbasis masalah, pengajaran autentik, belajar berbasis inkuiri, belajar berbasis kerja, belajar kooperatif, belajar berbasis tugas terstruktur dan belajar jasa layanan.
Selain model pembelajaran di atas masih banyak model pembelajaran lain yang berasosiasi dengan pendekatan kontekstual yang dapat digunakan dalam pembelajaran kontekstual (Roestama; 2002).

2. Strategi Pelaksanaan Pembelajaran Kontekstual
Agar pelaksanaan pembelajaran kontekstual lebih efektif, guru harus berperan dengan baik dalam merencanakan, mengimplementasikan, merefleksikan dan menyempurnakan pembelajaran kontekstual dengan cara :
a. Menekankan pada pemecahan masalah atau problem. Pengajaran diawali dengan menyajikan masalah nyata yang releven dengan keluarga siswa, pengalaman, sekolah, tempat kerja dan masyarakat yang mempunyai arti penting bagi siswa. Siswa didorong berfikir kritis dan sistematis untuk menemukan masalah dan menggunakan isi materi pembelajaran dalam menyelesaikan masalah.
b. Mengakui bahwa kebutuhan belajar siswa terjadi dalam berbagai konteks, seperti rumah, masyarakat dan tempat kerja. Pengetahuan yang diperoleh siswa tidak lepas darimana dan bagaimana siswa mendapatkan pengetahuan dan pengetahuan semakin bertambah jika siswa belajar dari lingkungan yang bervariasi.
c. Mengontrol dan mengarahkan siswa menjadi pembelajar yang mandiri, dengan cara memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan uji coba.
d. Memahami keragaman konteks hidup siswa dan dapat memanfaatkannya sebagai daya pendorong untuk belajar sekaligus menambah kompleksitas pembelajaran itu sendiri, melalui kerja sama dan aktivitas kelompok belajar sehingga siswa berfikir melalui komunikasi dengan orang lain.
e. Guru bertindak sebagai fasilitator, pelatih dan pembimbing akademis dalam mendorong siswa untuk melakukan kerja sama dalam belajar. Komunikasi pembelajaran terbentuk di dalam tempat kerja dan sekolah kaitannya dengan suatu usaha bersama-sama menggunakan pengetahuan, memusatkan tujuan pembelajaran dan memperkenankan semua orang untuk belajar dari sesamanya.
f. Menggunakan penilaian Autentik. Penilaian ini tidak hanya mengukur seberapa banyak pengetahuan yang telah dikumpulkan oleh siswa, tetapi juga dapatkah siswa menerapkan pengetahuannya untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari meskipun tarafnya sederhana. Rumusan instruksi guru di kelas dan dalam LKS yang mengarahkan siswa menerapkan pemahamannya untuk memecahkan masalah adalah contoh teknik penilaian autentik.

3. Evaluasi Pendekatan Kontekstual
Untuk menentukan apakah lingkungan pembelajaran kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa, diperlukan strategi penilaian yang beragam. Hal yang berkaitan dengan hasil belajar meliputi penilaian apakah dengan pembelajaran kontekstual dapat membangun dan memperluas pengalaman siswa dibandingkan sebelumnya. Apakah pembelajaran kontekstual dapat membantu siswa dalam menyelesaikan atau memecahkan persoalan dalam kehidupan sehari-hari, atau siswa mengalami peningkatan dalam mengekspresikan apa yang mereka ketahui termasuk bagaimana menggunakan pengetahuannya di dalam dan luar sekolah.
Strategi penilaian dan alat ukurnya dikatakan baik jika ada kesesuaian dengan tujuan dan dampak nyata yang diharapkan dari materi pelajaran tertentu. Dari tujuan dan umpan balik materi pelajaran, muncul ragam strategi penilaian yang dapat mengukur prestasi siswa dan pengetahuan prses di dalam aktivitas pembelajaran.
Salah satu prinsip penilaian pada pendekatan kontekstual adalah tidak hanya menilai apa yang diketahui oleh siswa tetapi juga menilai apa yang dapat dilakukan oleh siswa.
Dilihat dari segi evaluasi penilaian pendekatan kontekstual sangat berbeda dengan teknik penilaian pendekatan konvensional. Sasaran penilaian berubah dari mengukur seberapa banyak pengetahuan siswa ke arah mengukur bagaimana siswa menggunakan pengetahuannya untuk memecahkan persoalan yang ada di dunia nyata.

4. Pendekatan Konstruktivis
Vigotsky (dalam Nur, 2000) menyatakan bahwa konstruktivis adalah suatu pendapat yang menyatakan bahwa siswa membangun pemahaman oleh diri sendiri dari pengalaman-pengalaman awal. Pengalaman awal selalu merupakan dasar atau tumpuan yang digabung dengan pengalaman baru untuk mendapatkan pemahaman baru. Pemahaman yang mendalam dikembangkan melalui pengalaman yang bermakna.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa prinsip konstruktivisme yang dapat diambil untuk pengembangan kegiatan pembelajaran, yaitu : (a) Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun sosial; (b) Pengetahuan tidak dapat dialihkan dari guru kepada siswa tanpa aktivitas siswa itu sendiri untuk menalar; (c) Siswa secara terus menerus aktif mengkonstruksikan realita, sehingga selalu terjadi perubahan menuju konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, dan (d) Tugas guru adalah membantu menciptakan situasi yang memungkinkan terjadinya proses konstruksi oleh siswa (Jalal dan Surpriadi dalam Rahma Y. 2000).
Pembelajaran konstruktivis dalam pengajaran menerapkan pembelajaran kooperatif secara luas, berdasarkan teori bahwa siswa lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit jika mereka saling mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. (Nur, 1999)
Dalam kegiatan pembelajaran, guru menekankan pada penjembatan (Scoffolding), yaitu memberi siswa tugas-tugas yang kompleks, sulit namun realistik dan kemudian memberi cukup bantuan untuk menyelesaikan tugas ini (Nur, 2001). Bantuan dikurangi sedikit demi sedikit sampai siswa dapat menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik. Pengajaran ditekankan pada proses top-down yang berarti siswa mulai dengan masalah-masalah yang kompleks untuk dipecahkan dan selanjutnya memecahkan atau menemukan ketrampilan-ketrampilan dasar yang diperlukan. (Nur, 1999)

5. Pembelajaran Kooperatif
Pengertian pembelajaran kooperatif (Nur dan Wikandari : 1999) adalah metode pengajaran dimana siswa bekerja dalam kelompok yang heterogen kemampuannya. Pada pembelajaran kooperatif siswa yakin bahwa tujuan mereka tercapai jika dan hanya jika siswa lain akan mencapai tujuan tersebut (Ibrahim dkk, 2000). Siswa belajar untuk bersepakat dalam memutuskan suatu masalah dan lebih bertoleransi atau menghargai pendapat dan perasaan orang lain. Hubungan dengan teman sebaya membuat siswa semakin senang menikmati bagian dari proses belajar.
Unsur-unsur dasar yang perlu ditanamkan pada diri siswa agar pembelajaran kooperatif lebih efektif adalah sebagai berikut (Lundgren, 1994 : 5) :
a. Para siswa harus mempunyai persepsi bahwa mereka tenggelam atau berenang bersama.
b. Para siswa memiliki tanggung jawab terhadap tiap siswa lain dalam kelompoknya, di samping tanggung jawab terhadap diri sendiri, dalam mempelajari materi yang dihadapi.
c. Para siswa harus berpandangan mereka semua memiliki tujuan yang sama.
d. Para siswa harus membagi tugas dan berbagi tanggung jawab sama besarnya diantara para anggota kelompoknya.
e. Para siswa akan diberi satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi seluruh anggota kelompok.
f. Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh ketrampilan bekerja sama selama belajar.
g. Para siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Beberapa keuntungan dalam pembelajaran kooperatif, antara lain adalah sebagai berikut :
a. Siswa bekerjasama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi norma-norma kelompok.
b. Siswa aktif membantu dan mendorong semangat untuk sama-sama berhasil.
c. Aktif berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan kelompok.
d. Interaksi antar siswa seiring dengan peningkatan kemampuan mereka dalam berpendapat.
e. Interaksi antar siswa juga membantu meningkatkan perkembangan kognitif yang non konservatif menjadi konservatif (teori Piaget).

6. Pelaksanaan Pembelajaran Kooperatif
Terdapat enam langkah utama atau tahapan di dalam pelajaran yang menggunakan pembelajaran kooperatif. Pelajaran dimulai dengan guru menyampaikan tujuan pelajaran atau indikator pencapain dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti oleh penyajian informasi. Selanjutnya siswa dikelompokkan ke dalam tim-tim belajar. Untuk lebih jelasnya tahap pembelajaran kooperatif lebih lanjut terdapat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2.2. Tahapan pembelajaran kooperatif
FASE TINGKAH LAKU GURU
Fase-1
Menyampaikan tujuan dan memo-tivasi siswa


Fase-2
Menyajikan informasi


Fase-3
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar


Fase-4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Fase-5
Evaluasi




Fase-6
Memberi penghargaan
Guru menyampaikan semua tujuan yang ingin dicapai pada pembe-lajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar

Guru menyampaikan informasi kepada siswa dengan demonstrasi atau lewat bacaan

Guru menjelaskan kepada siswa cara membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar bekerjasama

Guru membimbing kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau mempresentasikan hasil kerja masing-masing kelompok

Guru memberikan penghargaan atas hasil belajar individu dan kelompok

Terdapat empat tipe dalam pembelajaran kooperatif yang digunakan, yaitu STAD, Jigsaw, Investigasi Kelompok dan Pendekatan Struktural.

7. Tujuan Pembelajaran dan Hasil Belajar Siswa
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting, yaitu :
a. Hasil belajar akademik
Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk meningkatkan kerja siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Pembelajaran kooperatif ini dapat memberi keuntungan pada siswa kelompok rendah maupun kelompok tinggi yang bekerjasama meyelesaikan tugas-tugas akademik. Siswa kelompok tinggi akan menjadi tutor bagi kelompok rendah. Dalam proses tutorial ini, siswa kelompok tinggi akan meningkatkan kemampuan akademiknya karena memberikan pelayanan sebagai tutor.
b. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk saling bekerjasama, saling bergantung satu sama lain atas tugas-tugas bersama dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, belajar untuk menghargai satu sama lain.
c. Pengembangan ketrampilan sosial
Pembelajaran kooperatif bertujuan untuk mengajarkan kepada siswa kemampuan kerjasama dan kolaborasi dalam berinteraksi antara anggota kelompok.

8. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif
Tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi dimana keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik-teknik pembelajaran kooperatif lebih banyak meningkatkan hasil belajar daripada pembelajaran kooperatif dan kelompok pembelajaran tradisional adalah sebagai berikut :
Tabel 2.3. Perbedaan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran tradisional

Kelompok Pembelajaran Kooperatif Kelompok Pembelajaran Tadisional
Kepemimpinan bersama Satu pemimpin
Saling ketergantungan positif Tidak ada saling ketergantungan
Keanggotaan yang heterogen Keanggotaan yang homogeny
Mempelajari ketrampilan-ketram-pilan kooperatif Asumsi adanya ketrampilan-ketrampilan sosial yang efektif
Tanggungjawab terhadap hasil belajar seluruh anggota kelompok Tanggungjawab terhadap hasil belajar sendiri
Menekan pada tugas dan hubungan kooperatif Hanya menekan pada tugas
Ditunjang oleh guru Diarahkan oleh guru
Satu hasil kelompok Beberapa hasil individu
Evaluasi kelompok Evaluasi individu

Berdasarkan hasil penelitian Thomson (Lundgren 1, 1994) pembelajaran kooperatif mempunyai manfaat sebagai berikut :
a. Meningkatkan pencurahan waktu pada tugas
b. Meningkatkan rasa harga diri
c. Memperbaiki kehadiran
d. Saling memahami adanya perbedaan individu
e. Mengurangi perilaku yang mengganggu
f. Mengurangi konflik antara pribadi
g. Mengurangi sikap apatis
h. Meningkatkan motivasi
i. Meningkatkan hasil belajar
j. Memperbesar retensi
k. Meningkatkan kebaikan budi, kepakaan dan toleransi

Selain mempunyai kelebihan pembelajaran kooperatif juga mempunyai kekurangan yang harus dihindari, yakni adanya anggota kelompok yang tidak aktif. Hal ini akan terjadi bila dalam satu kelompok hanya mempunyai permasalahan. Kelemahan ini dapat dihindari dengan cara sebagai berikut :
a. Tiap-tiap anggota kelompok bertanggungjawab pada bagian-bagian kecil dari permasalahan kelompok.
b. Tiap-tiap anggota kelompok mempelajari materi secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan hasil kelompok ditentukan pada hasil kuis dari anggota kelompok yang ada, maka tiap anggota kelompok harus benar-benar mempelajari isi permasalahan secara keseluruhan.

9. Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
STAD (Student Team Achivement Division) merupakan salah satu metode pembelajaran kelompok yang paling awal ditemukan. Metode ini sangat populer dikalangan para ahli pendidikan. Dalam metode STAD siswa dipasangkan secara merata yang memiliki kemampuan tinggi dan rendah dalam suatu kelompok sebanyak 4 – 5 orang. Skor kelompok diberikan berdasarkan atas prestasi anggota kelompoknya. Ciri-ciri yang penting dalam STAD adalah bahwa siswa dihargai atas prestasi kelompok dan juga terhadap semangat kelompok untuk bekerjasama.
Pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri dari lima komponen utama, yaitu : pengajaran kelas, belajar time tes atau kuis, scor peningkatan individu dan pengakuan kelompok (Slavin, 1995) :
a. Pengajaran
Pengajaran yang diberikan di depan kelas adalah secara klasikal dengan menggunakan pendekatan kontekstual pada pokok bahasan sistem koloid.
b. Belajar dalam tim
Dalam metode STAD siswa dibagi dalam kelompok secara heterogen sebanyak 4 – 5 orang. Hal ini dimaksudkan untuk saling menyakinkan bahwa semua anggota kelompok dapat bekerjasama dalam belajar untuk mencapai tujuan akademik yang diharapkan.
c. Tes
Setelah siswa menerima pengajaran dari guru dan bekerjasama dalam kelompoknya, selanjutnya siswa diberikan tes perseorangan. Dalam hal ini masing-masing siswa berusaha dan bertanggungjawab secara individu untuk melakukan yang terbaik sebagai kesuksesan kelompoknya. Karena kegiatan pembelajaran ini terdiri dari 2 putaran, maka tes diberikan sebanyak 2 kali pada setiap akhir putaran.
d. Skor Peningkatan Individu
Peningkatan skor individu dapat berupa skor awal dan skor tes individu. Skor awal dapat berupa nilai pretest yang dibentuk pada saat sebelum pelaksanaan pengajaran diberikan. Setelah pemberian tes atau kuis skor tersebut juga akan menjadi skor awal dan selanjutnya bagi perhitungan individu. Skor peningkatan individu merupakan suatu kesepakatan antara guru dan siswa sebelumnya. Skor kelompok merupakan jumlah dari masing-masing anggota kelompok, sehingga setiap siswa bertanggungjawab terhadap skor anggota kelompoknya. Dari skor kelompok inilah dapat ditentukan kelompok-kelompok yang memperoleh nilai terbaik dan berhak atas hadiah atau penghargaan yang dijanjikan.

Tabel 2.4. Langkah pemberian skor pembelajaran kooperatif STAD
Langkah Perilaku siswa
Langakah 1
Menetapkan skor dasar

Langkah 2
Menghitung skor kuis terkini

Langkah 3
Menghitung skor perkembangan Setiap siswa diberikan skor berdasarkan skor awal

Siswa memperoleh poin untuk kuis yang berkaitan dengan pelajaran terkini.

Hasil yang di dapat siswa dijumlahkan kemudian dibagi jumlahnya


Tabel 2.5. Kriteria pemberian skor pembelajaran kooperatif STAD
Kriteria Skor Siswa
- Lebih dari 10 poin di bawah skor dasar
- 10 point hingga 1 poin di bawah skor dasar
- Skor dasar sampai 10 point di atasnya
- Lebih 10 point di atas skor dasar
- Nilai sempurna (tidak berdasar-kan skor dasar) 5

10

20

30
30

Sumber : (Slavin, 1995 : 80)
Nilai kelompok dihitung berdasarkan jumlah total nilai perkembangan semua anggota kelompok yang ada. Berdasarkan nilai perkembangan yang diperoleh terdapat 3 tingkat penghargaan yang diberikan untuk penghargaan kelompok yaitu
1) Kelompok dengan skor rata-rata 15 – 19 sebagai kelompok baik.
2) Kelompok yang memperoleh skor rata-rata 20 – 24 sebagai kelompok hebat.
3) Kelompok yang memperoleh skor rata-rata 25 – 30 sebagai kelompok super.















BAB III
METODE PENELITIAN

1. Seting Penelitian
Karakteristik Sekolah I :
1. Karakteristik Lokasi :
a. Nama Sekolah : SMA MARKUS
b. Alamat Sekolah : Jl. Kapten Muslim No 119. Medan
c. Kelas : X
d. Lingkungan Fisik : Lokasi sekolah dekat dengan jalan raya
e. Lingkungan sosial : 300 meter dari lingkungan perumahan
2. Karakteristik Siswa :
a. Komposisi siswa : 16 siswa (12 siswa perempuan
dan 4 siswa laki-laki)
b. Kemampuan akademis : heterogen
c. Motivasi belajar : cukup
d. Latar belakang sosial/ekonomi : menengah ke bawah

2. Persiapan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Action Researh Classroom) karena penelitian ini bertujuan menganalisis atau memecahkan suatu masalah yang nyata dalam pendidikan. Hal-hal yang perlu dipersiapkan sebelum melakukan penelitian adalah memilih model pembelajaran yang dinilai sesuai dengan materi yang akan disampaikan. Dalam hal ini peneliti memilih menerapkan model kooperatif tipe STAD yang kemudian membuat satuan pelajaran, rencana pelajaran dan perangkat pembelajaran (LKS, buku siswa, dll).

3. Siklus Penelitian
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilakukan dalam 2 siklus, sesuai dengan waktu yang telah direncanakan, yakni 4 jam pelajaran untuk pokok bahasan sebagai berikut :
1. Materi pembelajaran siklus 1 : Sifat Keperiodikan Unsur
2. Materi Pembelajaran siklus 2 : Perkembangan Teori
Pada tiap putaran terdiri atas 4 tahap, yaitu :
1. Rancangan
2. Kegiatan dan pengamatan
3. Refleksi
4. Revisi
Adapun putaran dari pelaksanaan penelitian tindakan kelas dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 1 : Alur Penelitian Tindakan Kelas (Tim PGSM, 1999)





4. Instrumen
Instrumen yang diperlukan dalam penelitian ini adalah :
a. Lembar tes
Dalam penelitian ini post test digunakan untuk mengetahui sejauhmana ketuntasan belajar yang dapat dicapai dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Berdasarkan GBPP SMU Tahun 1994 ; 39 bahwa siswa akan tuntas belajar bila ia telah memperoleh skor 65% atau nilai 65. Tuntas dalam hal ini adalah siswa telah berhasil belajar pada materi perekonomian tertutup dan terbuka.
b. Lembar Observasi
Lembar observasi yang digunakan berupa lembar pengamatan pengelolaan pembelajaran kooperatif tipe STAD dan lembar observasi aktivitas guru dan siswa. Hal ini dilakukan untuk menilai kete-rampilan-keterampilan guru dan siswa, apakah kegiatan pembelajaran tersebut berpusat pada guru atau berpusat pada siswa.

5. Analisis dan Refleksi
a. Metode Pengumpulan Data
1) Observasi
Observasi penelitian ini dilakukan secara langsung pada saat pembelajaran kooperatif tipe STAD di kelas X pada Kompetensi Dasar Perekonomian Tertutup Dan Terbuka Suatu Negara.
2) Metode Tes
Dalam penelitian ini digunakan tes setelah mendapat perlakuan (postest) untuk mengetahui sejauhmana tingkat ketuntasan belajar siswa terhadap materi yang disampaikan melalui model pembelajaran kooperatif tipe STAD.

b. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif. Data yang dianalisis ini adalah nilai tes prestasi belajar ekonomi pada kompetensi dasar perekonomian tertutup dan terbuka suatu negara , data pengamatan aktivitas guru dan siswa dalam kegiatan belajar mengajar, serta pengamatan keterampilan guru dalam pengelolaan pembelajaran kooperatif tipe STAD. Analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut :
1) Data hasil ketuntasan belajar siswa
Secara individual, siswa telah tuntas belajar jika mencapai skor 65% atau nilai 65 dengan perhitungan sebagai beriktu (Depdikbud, 1994) :

Suatu kelas dinyatakan tuntas belajar jika terdapat > 85% dari jumlah siswa telah tuntas belajar. Perhitungan untuk menyatakan ketuntasa belajar siswa secara klasikal :

2) Data hasil pengamatan aktivitas guru dan aktivitas siswa
Observasi terhadap aktivitas siswa dilakukan selama pembelajaran berlangsung selang 1 menit. Hasil observasi dianalisis dengan jumlah aktivitas siswa yang dilakukan dibagi jumlah siswa yang melakukan aktivitas dibagi waktu keseluruhan dikali 100%.



DAFTAR PUSTAKA

Azizah, Uhya. 1998. Pengembangan Model Pembelajaran Koopeatif Tipe STAD untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran ekonomi di SMU. Tesis Pasca Sarjana IKIP Surabaya.

Depdiknas. 2002. Pendekatan Konstekstual. Jakarta : Depdiknas
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Ekonomi SMA. Jakarta : Pemerintah Propinsi Jawa Timur Dinas P dan K Sub Din Dikmenum.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Pemerintah Propinsi Jawa Timur. 2005. Pedoman Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) Sekolah Menengah Atas. Surabaya : Satuan Kerja Pembinaan Pendidikan Menengah Umum.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Pemerintah Propinsi Jawa Timur. 2005. Panduan Workshop Penelitian Tindakan Kelas. Surabaya : Satuan Kerja Pembinaan Pendidikan Menengah Umum.
Hoetawarman, Wawang. 2000. Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Siswa pada Pembelajaran Konsep Kesetimbangan Kimia di Kelas II Cawu I SMU Negeri 1 Jombang. Laporan Akhir PTK Tahun 2000/2001. Malang : Universitas Negeri Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar